Ibu, Cinta Tanpa Akhir

Minggu, 22 Desember 2013

Ibu…ibu…ibu… Apa yang ingin aku tulis tentangnya? Ibu adalah sosok yang tegar. Dalam banyaknya cobaan yang menerpa keluarga kami, Ibu masih tetap berdiri dan bertahan untuk anak-anaknya.

Apakah aku mencintainya? Ya, aku mencintainya. Sangat mencintainya. Mungkin banyak yang berkata seperti itu. Tapi, pernahkah ada yang bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia pernah membenci ibunya? Aku pernah. Bahkan sering.

Banyak pikiran dan pendapat yang berbeda denganku yang membuatku kadang membencinya. Atau ada pula komentar pedas dari mulutnya yang membuatku sakit hati. Ibuku memang tipe orang yang bersuara keras dan langsung menegur jika kami punya kesalahan. Caranya lah yang kadang membuatku tidak suka. Aku merasa aku tidak disayangi, aku tidak dicintai.

S4020067

Tapi benarkah Ibu seperti itu, seperti apa yang aku bayangkan? Tidak. Ibu sangat menyayangiku. Sangat mencintaiku. Hanya aku yang bebal, dan kadang tidak menanggapi dengan lapang dada jika aku ditegur. Ibu sangat, sangat mencintaiku. Banyak kesalahan yang aku perbuat, membantahnya, tidak mengikuti perintahnya, dan membuat Ibu marah. Tapi beberapa saat kemudian, Ibu kembali seperti biasa. Bahkan di saat aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku, hingga aku takut untuk menemuinya. Tapi ternyata, Ibu membuka tangan dan hatinya. Merangkulku dengan maafnya. Ibu sama sekali tidak memarahiku atau menghakimiku.

IMG00647-20091014-0738

Sejak saat itu, aku sadar betapa besar cintanya padaku. Mengingatkanku betapa selama hidupku, Ibu selalu berusaha mengabulkan apapun keinginanku. Bahkan Ibu rela menjual perhiasanya untuk membantu membayar biaya masuk kuliahku. Sungguh, perjuangannya begitu keras agar aku bisa kuliah seperi keinginanku. Karena melihat perjuangannya jua lah aku pun berjuang mencari beasiswa dan belajar sebaik mungkin agar mendapat nilai yang tidak mengecewakan dan bisa membanggakan untuk Ibu.

Apalagi, kemudian aku mengandung, melahirkan, dan mengasuh anakku sendiri. Aku merasakan perjuangan yang lebih besar. Rasa tidak nyaman saat mengandung. Pertaruhan nyawa saat melahirkan. Dan kejengkelan menghadapi anak, saat anak kita tidak mau menurut. Aku sadar lagi, bagaimana merepotkannya aku saat masih kecil. Tapi Ibu tetap menyayangiku. Itu pula yang aku rasakan sekarang pada anakku. Betapa aku terkadang suka kesal dibuatnya, tapi aku tetap menyayangi anakku.

IMG00033-20100910-0623

Apakah sekarang aku membencinya? Tidak. Aku sedang berusaha memahami perasaan Ibuku, berdasarkan apa yang aku rasakan pada anakku. Betapapun galaknya, cerewetnya, nyebelinnya, dia tetap ibu yang melahirkanku, mengasuhku, dan mendidikku hingga sekarang.

Ada yang bilang, kita harus menghargai dan mencintai Ibu kita. Walaupun sering berbeda pemahaman, karena begitulah orang tua. Sayangilah dia dan berbaktilah walau hanya dengan senyuman, selagi dia masih hidup. Setelah dia tidak ada, mau kemana lagi kita pulang.

Dan saat akan membuat postingan ini. Aku baru sadar, tidak banyak foto Ibu yang aku punya. Bisa dihitung jari.

DSC_0037

Kasih Ibu, kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai Sang Surya menyinari dunia.

“Mama.. Selamat Hari Ibu.. Maafkan anakmu ini yang belum bisa berbakti sepenuhnya kepadamu. Semoga engkau selalu diberi limpahan kesehatan oleh Allah SWT. Amin.”

“Bantal dede…!”

2013-08-19 10.01.41

Awalnya mau ngelanjut nulis sinopsis, tapi… mendengar tangisan Mikail, ada sesuatu yang ingin saya tulis dulu.

Mikail, anak saya ini, sejak lahir jarang sekali bertemu ayahnya. Biasanya sebulan sekali. Belakangan setelah ayahnya pindah kerja ke Cipanas, lumayan jadi seminggu sekali. Dan entah karena itu atau bukan, kalau ada ayah di rumah, setiap malam pasti rewel. Rewelnya apa coba?

“Bantal dede….! Guling dede….! Bantal ibu…! Guling ibu…!”

Mikail marah kalau bantal dan guling yang ada dikamar dipake ayah untuk tidur. Kasihan ayah, tapi mau gimana lagi, pastinya ngalah dong. Ayah tidur gak pake bantal, atau kalau Mikail udah tidur, baru deh pake bantal.

Tapi anehnya, kalau Mikail kebangun tengah malam, dia pasti inget sama bantal dan gulingnya itu. Marah-marah lagi lah dia. Terkadang bisa di kasih pengertian, “Ayahnya kasih pinjem bantal ibu ya?” Dia memperbolehkan, tapi seringnya sih menolak.

Saya bingung, ini memang karena jarang tidur sama ayahnya, atau karena saya yang mengajarkan “kepemilikan” sama Mikail. Dari kecil saya memang sudah mengajarkan mana yang milik dia dan mana yang bukan. Saya termasuk orang yang tidak suka barang milik saya dipakai tanpa ijin, dan saya tidak berani memakai atau meminjam barang orang lain tanpa ijin. Saya ingin menerapkan hal itu juga sama Mikail. Dengan maksud dia tidak akan mengambil barang milik orang lain tanpa ijin. Tapi, kenapa malah jadi seperti itu ya? Tapi, untuk berbagi barang lain atau makanan, dia tidak seperti itu sama ayahnya atau yang lain. Tapi kalau urusan bantal dan guling… hmmmph, seperti itulah.

Semoga semakin besar dia bisa mengerti ya..

Untitled

"..Aku takkan pernah mampu untuk berjanji
Menemani harimu hingga esok hari
Tapi jika kau terima, biarkan aku mencintaimu
Hari ini saja… dengan semua cinta yang kupunya


Aku bukanlah pengabulan dari doamu
di malam saat bintang jatuh
Tapi jika kau mau, aku dapat menjadi bintang
yang menerangi keindahanmu setiap malam


Aku takkan selalu bisa membahagiakan hati
Tak luput salah, mungkin ku juga menyakiti
Tapi jika kau ikhlas, cintaku takkan berbatas
Meski terkadang sakitimu, itu aku khilaf.."

 

by mantan pacar

Hanya Jika

IMG00286-20090821-0924

andai ku dapat memeluk mu kembali....
takkan pernah kulepas lagi dekapan ku dari mu..
bila ku dapat menggenggam tangan mu kembali..
takkan ku biarkan kau pergi lagi dari ku...


jika ku tahu kamu kan sejauh ini dari ku..
aku kan mengikuti kemana pun pergimu..
biar ku dapat terus menatap wajah mu..
melihat senyummu..
tertawa bersamamu..
lagi...


hanya andai...
hanya bila..
hanya jika..
aku bisa bersama mu..

LDR dan LDM

Apa itu LDR? Mungkin sudah banyak yang tahu ya LDR singkatan dari Long Distance Relationship atau biasa disebut hubungan jarak jauh.

Lalu, apa itu LDM? Long Distance Married. Emang ada istilah itu? Aku juga tidak tahu, hehe.. Hanya untuk membedakan saja dengan LDR yang aku sebut untuk hubungan masa pacaran atau pendekatan.

Siapa readers yang saat ini sedang menjalani atau pernah menjalani LDR dan LDM? Saya pernah, dan sedang menjalaninya.

Aku berhubungan dengan mantan pacar selama 4 tahun. Dan selama itu kami LDR-an. Dia sebenarnya rumahnya di Bogor, tapi kuliahnya di Jatinangor, Sumedang. Sedangkan aku kuliah di Bogor.

Selama 4 tahun itu, kita ketemu hanya satu bulan sekali saja. Sekitar 2-3 hari. Cukup? Ya lumayan untuk melepas sedikit rindu. Ehem. Paling jalan-jalan ke mall, makan, nonton, seperti biasa saja, malah sering juga nongkrong di kampus aja. Hehe.

Dan LDM, aku menjalaninya hampir 3 tahun. Masih sama seperti LDR, aku ketemu suami satu bulan sekali. Paling lama adalah 3 bulan baru ketemu, saat suami kerja di Palembang. Sekarang Alhamdulillah bisa ketemu seminggu sekali. :)

Berdasarkan pengalamanku hampir 7 tahun jauhan, aku ngerasain dampak positif dan negatifnya saat kita menjalani hubungan jarak jauh, baik saat pacaran atau sudah menikah.

Positifnya, tentu saja melatih kesabaran, juga bisa menambah kepuasan melepas rindu saat kembali. Nyes... gitu deh. ;p
Dan negatifnya adalah..... banyak. Tidak bisa bertemu sesuka hati saat dibutuhkan, cemburu, curiga, khawatir. Khawatir terjadi apa-apa, khawatir ngelirik cewe lain. Hehe..

Trus apalagi positif dan negatifnya? Ntah knapa aku lebih banyak ngerasain negatifnya. Kalau sudah kangen, atau lagi butuh suami di samping, bawaanya jadi marah-marah. Bahkan baca sms pun yang sebenarnya nada biasa tapi jadi terbacanya nada tinggi. Akhirnya malah menyebabkan kesalah pahaman.

Dan negatifnya jauhan adalah kesalah pahaman yang timbul itu bukannya terselesaikan dengan baik, malah jadinya melebar kemana-mana. Dan habya bisa.berakhir jika sudah bertemu langsung.

Hmm..adakah yang mengalaminya juga? Atau mungkin aku lebih banyak ngerasa negatifnya karena aku kurang dewasa ya.
Memang sih aku akui, aku belum bisa mengontrol emosiku sendiri. Aku juga belum bisa menekan egoku.

Alhamdulillah suamiku orangnya penyabar, dan baaaiiikkk. Dia sangat mengerti dan memahamiku luar dalam lebih dari diriku sendiri. Dia lebih banyak mengalah. Dia tahu caranya "menjinakkan" aku. :)

Sebenarnya udah gak kuat jauhan terus. Dan entah kenapa jauhan setelah menikah malah rasanya lebih berat daripada saat pacaran. Mungkin karena setelah menikah, mata kita harus benar-benar tertuju pada suami ya.. Kan kalau pacaran, masih bisa lirik sana lirik sini, pacar jauh cari perhatian dari yang deket. Asal gak ketahuan. Oups! ;D

Impianku saat belum menikah adalah, menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anakku. Setiap hari dirumah mengurus dan mendidik anak, masak untuk mereka, mengantar dan menanti suami pulang kerja. Gak muluk-muluk, dimanapun tinggalnya, aku hanya ingin ada disamping mereka. Semoga cepat terwujud. Amin.

Untuk suamiku: Ayah, semangat! Semoga kita bisa cepat kumpul ya.. :')