Ibu, Cinta Tanpa Akhir
“Bantal dede…!”
Awalnya mau ngelanjut nulis sinopsis, tapi… mendengar tangisan Mikail, ada sesuatu yang ingin saya tulis dulu.
Mikail, anak saya ini, sejak lahir jarang sekali bertemu ayahnya. Biasanya sebulan sekali. Belakangan setelah ayahnya pindah kerja ke Cipanas, lumayan jadi seminggu sekali. Dan entah karena itu atau bukan, kalau ada ayah di rumah, setiap malam pasti rewel. Rewelnya apa coba?
“Bantal dede….! Guling dede….! Bantal ibu…! Guling ibu…!”
Mikail marah kalau bantal dan guling yang ada dikamar dipake ayah untuk tidur. Kasihan ayah, tapi mau gimana lagi, pastinya ngalah dong. Ayah tidur gak pake bantal, atau kalau Mikail udah tidur, baru deh pake bantal.
Tapi anehnya, kalau Mikail kebangun tengah malam, dia pasti inget sama bantal dan gulingnya itu. Marah-marah lagi lah dia. Terkadang bisa di kasih pengertian, “Ayahnya kasih pinjem bantal ibu ya?” Dia memperbolehkan, tapi seringnya sih menolak.
Saya bingung, ini memang karena jarang tidur sama ayahnya, atau karena saya yang mengajarkan “kepemilikan” sama Mikail. Dari kecil saya memang sudah mengajarkan mana yang milik dia dan mana yang bukan. Saya termasuk orang yang tidak suka barang milik saya dipakai tanpa ijin, dan saya tidak berani memakai atau meminjam barang orang lain tanpa ijin. Saya ingin menerapkan hal itu juga sama Mikail. Dengan maksud dia tidak akan mengambil barang milik orang lain tanpa ijin. Tapi, kenapa malah jadi seperti itu ya? Tapi, untuk berbagi barang lain atau makanan, dia tidak seperti itu sama ayahnya atau yang lain. Tapi kalau urusan bantal dan guling… hmmmph, seperti itulah.
Semoga semakin besar dia bisa mengerti ya..
Untitled
"..Aku takkan pernah mampu untuk berjanji
Menemani harimu hingga esok hari
Tapi jika kau terima, biarkan aku mencintaimu
Hari ini saja… dengan semua cinta yang kupunya
Aku bukanlah pengabulan dari doamu
di malam saat bintang jatuh
Tapi jika kau mau, aku dapat menjadi bintang
yang menerangi keindahanmu setiap malam
Aku takkan selalu bisa membahagiakan hati
Tak luput salah, mungkin ku juga menyakiti
Tapi jika kau ikhlas, cintaku takkan berbatas
Meski terkadang sakitimu, itu aku khilaf.."
by mantan pacar
Hanya Jika
andai ku dapat memeluk mu kembali....
takkan pernah kulepas lagi dekapan ku dari mu..
bila ku dapat menggenggam tangan mu kembali..
takkan ku biarkan kau pergi lagi dari ku...
jika ku tahu kamu kan sejauh ini dari ku..
aku kan mengikuti kemana pun pergimu..
biar ku dapat terus menatap wajah mu..
melihat senyummu..
tertawa bersamamu..
lagi...
hanya andai...
hanya bila..
hanya jika..
aku bisa bersama mu..
LDR dan LDM
Apa itu LDR? Mungkin sudah banyak yang tahu ya LDR singkatan dari Long Distance Relationship atau biasa disebut hubungan jarak jauh.
Lalu, apa itu LDM? Long Distance Married. Emang ada istilah itu? Aku juga tidak tahu, hehe.. Hanya untuk membedakan saja dengan LDR yang aku sebut untuk hubungan masa pacaran atau pendekatan.
Siapa readers yang saat ini sedang menjalani atau pernah menjalani LDR dan LDM? Saya pernah, dan sedang menjalaninya.
Aku berhubungan dengan mantan pacar selama 4 tahun. Dan selama itu kami LDR-an. Dia sebenarnya rumahnya di Bogor, tapi kuliahnya di Jatinangor, Sumedang. Sedangkan aku kuliah di Bogor.
Selama 4 tahun itu, kita ketemu hanya satu bulan sekali saja. Sekitar 2-3 hari. Cukup? Ya lumayan untuk melepas sedikit rindu. Ehem. Paling jalan-jalan ke mall, makan, nonton, seperti biasa saja, malah sering juga nongkrong di kampus aja. Hehe.
Dan LDM, aku menjalaninya hampir 3 tahun. Masih sama seperti LDR, aku ketemu suami satu bulan sekali. Paling lama adalah 3 bulan baru ketemu, saat suami kerja di Palembang. Sekarang Alhamdulillah bisa ketemu seminggu sekali. :)
Berdasarkan pengalamanku hampir 7 tahun jauhan, aku ngerasain dampak positif dan negatifnya saat kita menjalani hubungan jarak jauh, baik saat pacaran atau sudah menikah.
Positifnya, tentu saja melatih kesabaran, juga bisa menambah kepuasan melepas rindu saat kembali. Nyes... gitu deh. ;p
Dan negatifnya adalah..... banyak. Tidak bisa bertemu sesuka hati saat dibutuhkan, cemburu, curiga, khawatir. Khawatir terjadi apa-apa, khawatir ngelirik cewe lain. Hehe..
Trus apalagi positif dan negatifnya? Ntah knapa aku lebih banyak ngerasain negatifnya. Kalau sudah kangen, atau lagi butuh suami di samping, bawaanya jadi marah-marah. Bahkan baca sms pun yang sebenarnya nada biasa tapi jadi terbacanya nada tinggi. Akhirnya malah menyebabkan kesalah pahaman.
Dan negatifnya jauhan adalah kesalah pahaman yang timbul itu bukannya terselesaikan dengan baik, malah jadinya melebar kemana-mana. Dan habya bisa.berakhir jika sudah bertemu langsung.
Hmm..adakah yang mengalaminya juga? Atau mungkin aku lebih banyak ngerasa negatifnya karena aku kurang dewasa ya.
Memang sih aku akui, aku belum bisa mengontrol emosiku sendiri. Aku juga belum bisa menekan egoku.
Alhamdulillah suamiku orangnya penyabar, dan baaaiiikkk. Dia sangat mengerti dan memahamiku luar dalam lebih dari diriku sendiri. Dia lebih banyak mengalah. Dia tahu caranya "menjinakkan" aku. :)
Sebenarnya udah gak kuat jauhan terus. Dan entah kenapa jauhan setelah menikah malah rasanya lebih berat daripada saat pacaran. Mungkin karena setelah menikah, mata kita harus benar-benar tertuju pada suami ya.. Kan kalau pacaran, masih bisa lirik sana lirik sini, pacar jauh cari perhatian dari yang deket. Asal gak ketahuan. Oups! ;D
Impianku saat belum menikah adalah, menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anakku. Setiap hari dirumah mengurus dan mendidik anak, masak untuk mereka, mengantar dan menanti suami pulang kerja. Gak muluk-muluk, dimanapun tinggalnya, aku hanya ingin ada disamping mereka. Semoga cepat terwujud. Amin.
Untuk suamiku: Ayah, semangat! Semoga kita bisa cepat kumpul ya.. :')